latest Post

Mencerdaskan Bangsa dengan Hoax




Apa yang kalian pikirkan ketika melihat foto diatas?

“Jago banget nih yang ngedit.”

“Astronotnya pasti ganteng.”

“Di bulan ada yang jual nasi uduk nggak ya?”

Pertanyaan terakhir itu cuma angan-angan gue sih yang pengen jualan lontong sayur dan nasi uduk andai manusia jadi mengkolonisasi bulan. Pasti laku keras sih, gue yakin astronot-astronot NASA kalo sarapan mampir ke warung gue dulu.

Oke skip, imajinasi gue terlalu liar.

Tapi diluar itu semua, gue yakin yang ada di benak kalian pasti menganggap bahwa lontong sayur gue enak foto itu hoax, or at least, it’s a fake.

Kenapa kalian bisa serempak beranggapan begitu? Karena kalian semua sudah sama-sama mafhum bahwa negara kita belum nyampe untuk bikin teknologi kesana, entah karena dana, atau minimnya sumber daya. Kenapa? Karena proyek mobil esemka nasional aja entah kemana kabarnya, pfft.

Asumsi umum yang menyebar luas di masyarakat inilah yang akhirnya menyelamatkan bangsa kita dari perpecahan mendebatkan bahwa foto ini asli atau tidak. Pasti setiap orang langsung memandang foto ini hasil editan dan langsung cuek dengan semua yang bersangkut paut dengan foto ini. Lalu mengapa sekarang kita banyak meributkan soal hoax?

Ketidaktahuan seseorang akan sesuatu cenderung mendorong orang tersebut untuk percaya apapun yang memberikan informasi baru tentang sesuatu tersebut. Nggak ngerti ya? Sama gue juga.

Maksud gue disini, ketika orang makin kosong isi kepalanya, maka apapun makin gampang untuk masuk kedalam kepala tersebut. See? Kita semua percaya-percaya aja kalo dulu adik kita lahir dengan menetas dari perut ibu kita ̶ entahlah apa cuma gue doang yang dulu mikir gitu ̶ tapi itu terjadi karena kita nggak tahu. Maka harusnya ketika sesuatu yang kita nggak tahu tentangnya datang, mengapa kita cenderung mudah mempercayainya? Berarti pola pikir kita nggak tumbuh-tumbuh nih atau gimana?

Yang lebih parah lagi, bila ketidaktahuan akan sesuatu tadi membuat orang antipati dan melabeling dengan informasi apapun yang mereka dapetin. Islamophobia? Itu kan terjadi karena minimnya informasi tentang Islam, setelah 9/11 semuanya langsung menghakimi islam dengan simpang siurnya informasi yang ada, adil gak? Nggak kan? Terus kenapa kita sekarang dengan mudah menghakimi sesuatu yang kita nggak tau? Adil kah buat mereka yang kita hakimi?

Merebaknya kegilaan sosial yang ada sekarang tak lepas juga dari pesatnya kegandrungan masyarakat kita akan social media. Sifat norak kita yang amat antusias dengan panggung publik bernama social media membuat kita saling sikut satu sama lain. Semua ingin didengar. Mungkin juga termasuk gue. Ya inilah efek rezim otoritarian ‘piye penak jaman ku tho’ yang akhirnya membuat masyarakat ejakulasi setelah dibungkam hak berpendapatnya berpuluh-puluh tahun.

Tapi kok gue heran yaaa, dengan banyaknya hoax yang ada kok malah ribut, bukannya makin pinter.

Sama kayak gosip gebetan yang katanya udah jadian sama orang lain, kita pasti nggak gampang percaya dan lebih memilih untuk kroscek dan mengkonfirmasi ke narasumber yang valid bagaimana dan mengapa si gebetan bisa jadian sama yang kayak gitu, kenapa bukan gue!

*lah curhat* *skip*

Harusnya pelajaran sejarah dibuat hoax aja sih biar siswa bisa debat cerdas dan penasaran mencari kebenaran sejarah dengan sendirinya. Eh, bukannya emang udah hoax yah? Pfft

Yang penting dan yang enggak

Semua social media madness ini akhirnya mengalihkan kita dari yang penting ke hal-hal sepele, yang harusnya masuk ke keranjang sampah aja.

Hari ini gue dan teman-teman kantor menyambangi rumah Ibu Heni untuk memberikan layanan kesehatan berupa perawatan luka gratis, beliau adalah penderita kanker payudara yang keadaannya cukup memprihatinkan. Mirisnya rumah ibu Heni dan Suami nggak lebih dari lebar kamar mandi, yang menjadi tempat kegemaran selfie-selfie kaum millenial kini. Kasur, lemari, dapur, semua menjadi satu di dalam ruangan yang luasnya tak lebih dari 3x3 meter.

Sedih banget gue, Ibu Heni yang juga sudah ditinggal mati anaknya harus menjalani masa-masa berat di sepetak tanah yang tak layak disebut rumah. Tapi ya itulah hidup, Ibu Heni nggak punya pilihan untuk nonton drama korea terbaru seperti kebanyakan dari kita, dia nggak punya waktu untuk ngasih tanggapan atas dua putaran pelaksanaan pilkada DKI. Dia cuma bisa terbaring lemah, sedang suaminya yang cuma kuli serabutan nggak bisa bebuat banyak selain menemani sang istri.

Kenapa orang semacam Ibu Heni justru sulit mendapatkan panggung seperti kita, sedangkan kita malah masih saja ribut ingin berbicara dan didengarkan.

Memberikan panggung pada yang layak adalah kewajiban kita dalam menggunakan social media ini dengan bijak, hoax dan simpang siurnya informasi yang membawa-bawa isu politik identitas tersebut harusnya bisa lebih dikesampingkan dibanding jeritan orang-orang semacam Ibu heni dan Suami.

Semua kembali ke diri kita masing-masing, akankah masih ribut menyoalkan hoax hingga harus membuat Gerakan Anti Hoax dan Satgas Pembasmi Hoax Tingkat Kelurahan, atau lebih memilih konsen ke isu-isu yang lebih penting.

Dalam hal ini, Ibu Heni menitipkan harapannya pada kita, yang mana yang kita pilih?

Oh iya untuk informasi dan donasi ke Ibu Heni bisa dilihat di akun Instagran Siapapeduli.id yang concern memberikan pelayanan kesehatan buat orang-orang kurang mampu, donasi dan pilihan kita untuk ngeributin yang ginian jauh lebih berharga daripada menghiraukan hoax-hoax yang beredar.


Banyaknya maling yang sedang beroperasi di komplek rumah kita harusnya membuat kita lebih waspada dan bukannya ribut mempersoalkan gembok pintu mana yang lebih kuat. Sedangkan si maling dengan mudahnya menyusup lewat jendela.

Gimana? Ada opini lain? Tulis dikomen bawah ya.

About Unknown

Unknown
Recommended Posts × +

0 komentar:

Posting Komentar