latest Post

Refleksi 5 Tahun Hidup di Malang : Berkuliah dan Perspektif Orang Kampung


Tulisan ini adalah bagian dari #PulangMalam, kumpulan artikel dan tulisan saya dalam menuangkan pemikiran yang terlintas saat berada di atas sadel sepeda, terutama saat pulang kerja di malam hari. Semua tulisan ini berisi pengalaman pribadi saya, semua opini yang tertulis adalah subjektif, dan bisa saja salah.

Malam ini sepeda saya kayuh dengan kencang, menyalip dengan lihai jajaran mobil-mobil yang mengantri karena ada pelebaran jalan di ruas Jalan Soekarno Hatta. Ada perasaan bahagia tak terperi, saat bisa mengebut sepeda sedangkan barisan kelas menengah itu masih mengais-ngais klakson meminta jalan dibelakang saya.

Jalan Suhat belum lengang, masih padat dan terhitung ramai bila melihat antrian kendaraan di lampu merah, dan angkringan-angkringan sepanjang jalan masih ramai diduduki orang. Mengopi, merokok, membicarakan perkara hidup yang saya tidak tahu. Pulang malam sambil mengayuh sepeda di jalan kota Malang, selalu menyisahkan pertanyaan bagi saya yang menatap jalan dengan kosong; udah lima tahun gue menetap disini? Udah dapet apa?

Sebagai orang kampung yang hidup di (Bogor) pinggiran kota besar seperti Jakarta, tidak pernah terbayangkan untuk merantau dan mengadu nasib selain ke Jakarta. Kota Malang dan Jawa Timur saat itu masih begitu asing bagi saya. Hanya lewat Arema di TV dan Baksonya di samping SMA 3 Bogor, saya bisa mengenal kota ini dulu.

Tepat 5 tahun lalu, saya menginjakkan kaki di Kota Malang. Sebagai anak Betawi—yang sedikit sekali memiliki sejarah sebagai suku perantau—melihat kota ini saat pertama kali menimbulkan sensasi tersendiri yang selalu saya rasakan setiap kali melangkah keluar stasiun, sekalipun itu sudah kedatangan saya yang keberapa kali. Saya masih ingat rasanya saat pertama kali melangkah keluar gerbang Stasiun Malang Kota Baru, sejak turun di peron, dengan sengaja saya memutar lagu Song of Sabdatama dari Jogja Hiphop Foundation di kuping. Kemudian memenjamkan mata. Alunan gamelan dan terompet mengiringi campur aduknya perasaan saya, dalam benak berbicara pada diri sendiri, saya masih tidak percaya bisa lolos SNMPTN lewat jalur prestasi, masih tidak percaya bahwa saya bisa kuliah di kampus negeri, masih tidak percaya bahwa pemerintah mau susah-susah membiayai anak kampung dari pinggiran rel kereta ini untuk belajar di bangku kuliah, di kota antah berantah pula.

Ya, saya bisa kuliah karena mendapatkan Beasiswa Bidikmisi. Beasiswa pendidikan tinggi untuk lulusan SMA sederajat yang berprestasi namun tidak mampu. Saya masih ingat sekali, mengetok-mengetok pintu rumah Pak RW untuk dibuatkan surat pengantar ke Kelurahan, hingga menyusuri gang-gang sempit untuk bisa ke warnet di kampung sebelah demi keperluan mengunggah berkas-berkas dan kelengkapan lainnya.

Jujur saya tidak berprestasi-prestasi amat, nilai yang saya dapat cukup membuat saya minder untuk mendaftar ke perguruan tinggi jajaran teratas, yang pada akhirnya pilihan pun jatuh pada program studi Ilmu Politik Universitas Brawijaya, dengan asumsi umur program studi yang masih muda memiliki kans untuk diterima lebih tinggi. Ditambah lagi, kesenangan saya dalam mendalami ilmu-ilmu sosial pun masih menggelora saat itu, menyabet juara dalam lomba-lomba Ilmu Sosial antar SMA se-Bogor pun membuat saya pede untuk memilih Ilmu Politik pada tahap seleksi SNMPTN.

Kuliah? Di kampus Negeri pula? Masih terbayang sebagai sesuatu yang mewah bagi saya 5 tahun lalu, mungkin ini efek menonton adegan anak orang kaya yang membawa mobil bagus ke kampus di FTV-FTV itu. Apalagi, besar di kampung yang hampir semua anak mudanya tidak memiliki pekerjaan tetap atau menjadi buruh di kota sebelah. Berkuliah dan berdasi hanya kami lihat di sinetron-sinetron.

Sekolah mahal.
(Dok Pribadi)

Sejauh ini saya dapat simpulkan, semua itu terjadi hanya karena kekurangan informasi yang didapatkan, dan perbedaan pergaulan yang saya alami.

Pertama, saya beruntung dapat bersekolah di sekolah negeri dengan akses informasi pendidikan yang memadai. Jajaran guru yang tanggap untuk mendorong siswa-siswinya dalam melanjutkan pendidikan ke tingkat lanjut. Berbeda jauh dengan kebanyakan cerita lulusan SMA/SMK seumuran saya di kampung, yang kebanyakan bersekolah di sekolah-sekolah swasta dengan akses informasi dan fasilitas yang minim, diajar oleh guru-guru yang mungkin juga tidak digaji dengan layak. Kebanyakan teman-teman saya di kampung pun setelah lulus dari sekolah menargetkan diri untuk siap kerja. Tapi apa daya, jahatnya sistem outsourcing dan tingginya prasyarat penerimaan kerja, membuat pendidikan yang sudah susah payah dijalani masih jauh dari cukup. Andai saja sosialisasi dan informasi soal berkuliah dan berkarir itu  dengan memadai bisa mudah diakses hingga tingkat RT-RW di kampung saya, mungkin pemuda-pemuda di kampung saya tidak lagi banyak yang menganggur atau mencari-cari ular dan biawak di Kali Ciliwung untuk dijual.

Kedua, saya memang agak memiliki jarak dengan teman-teman seumuran saya di kampung. Jam sekolah yang pagi, membuat saya harus mengejar kereta pertama pukul 5.45 pagi, sejak gelap saya sudah berangkat (nb: di Bogor jam segitu masih gelap). Kemudian rutinitas belajar dan ekstrakurikuler menyita waktu saya seharian, belum lagi bila ada kepanitiaan atau ada pelajaran/latihan tambahan bila akan mengikuti lomba. Pada akhirnya, sesampainya saya di rumah pun tak ubahnya orang kantoran. Berangkat gelap, pulang gelap, hampir selalu begitu selama 3 tahun. Praktis tidak ada interaksi dengan kawan seumuran saya dirumah, teman-teman saya pun hanya sebatas teman di sekolah, dan membuat saya tercap sebagai anak rumahan. Pada akhirnya saya menjadi asing dengan pembahasan dan topik obrolan anak-anak kampung tempat saya tinggal. Selain jarang mengikuti kegiatan warga, saya tidak menemukan kenyamanan dalam mengobrol dan kesamaan berfikir dengan teman-teman di lingkungan rumah.

Hal ini lah mungkin yang membuat saya sedikit jauh memiliki track record akademis yang lebih dibanding anak sekampung, yang notabene, banyak yang tidak merampungkan jenjang SMA/SMK-nya.

“Ah, lu mah enak, Kuh. Lu kan pinter,”
“Sekolah lu kan negeri, bisa masuk kesana kemari. Lah sekolah gua, langganan masuk berita.”

Sering saya dapatkan, pujian atau kalimat semacam itu yang menjadi excuse bagi mereka dalam melihat jauhnya status akademis saya, Saya kadang cuma bisa menjawab; "Kebetulan aja dapet info beasiswa, nyoba daftar, eh diterima."

Semua itu terjadi hanya karena kekurangan informasi yang didapatkan, dan perbedaan pergaulan yang saya alami.

Keberadaan beasiswa semacam Bidikmisi sangat membantu yang tidak memiliki banyak kesempatan untuk berpendidikan tinggi, menjadi mengerti apa sejatinya menjadi orang terdidik. Namun, ternyata masih banyak yang memiliki asumsi bahwa pendidikan tinggi adalah privilege orang-orang pintar, orang-orang berduit, lebih mirisnya lagi bila melihat gadget yang mereka punya sudah lebih dari cukup untuk mengakses informasi tersebut. PR kita lah sebagai orang-orang terdidik tadi, untuk pulang dan memahamkan, bahwa pendidikan bukan lagi barang mahal (meskipun di daerah lain masih sulit diakses), kini berpendidikan hanya masalah mau atau tidak.

Dan kembali lagi ke pertanyaan di awal; Udah dapet apa? Saya dapat banyak ilmu, tak cuma ilmu akademis, tapi juga ilmu hidup. Saya mau pulang, untuk memahamkan itu ke anak-anak di kampung saya.

Malang, Kerto Sentono, 23.51 

About Unknown

Unknown
Recommended Posts × +

0 komentar:

Posting Komentar